Perbedaan pendapat soal awal bulan Islam secara sederhana lebih karena perbedaan kriteria hisab. Misalnya ada dua kriteria yang menetapkan syarat ketinggian bulan yang berbeda, maka hasilnya untuk suatu bulan Islam bisa sama, bisa juga berbeda.
Saya ambil analogi sederhana dengan jarak aman antara dua buah mobil di jalan raya. Misalnya kriteria A mengatakan, jarak aman adalah minimal 5 meter, sedangkan kriteria B 10 meter.
Suatu ketika diketahui jarak antara kedua mobil adalah 20 meter. Maka baik A maupun B akan SEPAKAT Aman.
Kesempatan lain, jaraknya hanya 3 meter. Lagi-lagi A dan B akan SEPAKAT menyatakan Tidak Aman.
Pada kesempatan ketiga, jaraknya 7 meter. Barulah A dan B TIDAK SEPAKAT. A bilang Aman, B bilang Tidak Aman.
Begitulah dua kriteria yang berbeda, kadang ketinggian bulan membuat keduanya sepakat, kadang keduanya tidak sepakat.
Persoalan menjadi berkembang jika misalnya ditanyakan alasan kepada masing-masing kriteria. A, mengapa 5 meter? Mengapa tidak 4 atau 6 meter? Apa saklek harus 5 meter? Apa tidak boleh ada ralat, error atau ketidakpastian? Bagaimana jika jaraknya 4,999 meter, hanya kurang 1 milimeter, apa juga akan dianggap tidak aman? Begitu juga dengan B untuk 10 meter.
Begitu juga dengan persoalan rukyat. Saya ambil analogi sederhana, maaf jika mungkin kurang tepat.
Misalnya ada lampu lalu lintas yang sedang merah. Mungkin bisa diprediksi, kapan akan menyala hijau, tanda boleh jalan. Ternyata cuaca di sekitar lampu merah itu kurang menentu, kadang cerah, kadang berkabut sehingga menyulitkan pandangan.
Jika cuaca cerah, lampu bisa dilihat dengam jelas, lalu suatu ketika lampu hijau menyala dan terlihat jelas, orang akan sepakat boleh jalan.
Bagaimana jika cuaca berkabut, lampu hijau tidak bisa dilihat dengan jelas? Tetapi berdasarkan perhitungan atau manual lampu, kita cukup yakin sekarang lampu hijau sudah menyala. Apa sekarang boleh jalan? Atau lebih baik menunggu hijau berikutnya?
Atau ada situasi dimana orang banyak merasa sekarang masih merah, lalu ada seorang yang mengaku sudah hijau. Bisa jadi yang dilihat org tersebut bukan lampu hijau, tapi lampu yang lain di dekat lampu lalu lintas tersebut. Apakah pengakuan tadi diterima? Kalau kita tolak, bolehkah orang tersebut jalan duluan karena dia meyakini sudah hijau?
Atau jika mayoritas orang tidak peduli kapan hijaunya, pokoknya kalau mayoritas jalan, ya saya ikut jalan. Atau kalau polisi bilang jalan, ya saya jalan.
Atau, ada juga yang berpendapat, kalau lampu hijau di lain jalan sdh menyala, maka lampu di jalan ini juga hijau.
Ternyata banyak hal yang dapat didiskusikan. Semoga bermanfaat.